Pertanian organik modern di Indonesia diperkenalkan oleh Yayasan
Bina Sarana Bakti (BSB), dengan mengembangkan usahatani sayuran organik di
Bogor, Jawa Barat pada tahun 1984 (Prawoto and Surono, 2005; Sutanto 2002).
Pada tahun 2006, terdapat 23.605 petani organik di Indonesia dengan luas area
41.431 ha, 0,09 persen dari total lahan pertanian di Indonesia (IFOAM, 2008).
Perkembangan luas areal pertanian organic dari tahun 2007-2011 diperlihatkan
pada Gambar 4. Pada tahun 2007 luas areal pertanian organik di Indonesia adalah
40.970 ha, pada tahun 2008 meningkat secara tajam sebesar 409 persen
menjadi 208.535 ha. Pertumbuhan luas pertanian organik dari tahun 2008 hingga
2009 tidak terlalu signifikan, hanya 3 persen.
Luas area pertanian organic Indonesia tahun 2010 adalah 238,872.24
ha, meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya (2009). Namun pada tahun 2011
menurun 5,77 persen dari tahun sebelumnya menjadi 225.062,65 ha. Penurunan
terjadi karena menurunnya luas areal pertanian organic tersertifikasi sebanyak
13 persen. Hal ini disebabkan karena jumlah pelaku (petani madu hutan) tidak
lagi melanjutkan sertifikasi produknya tahun 2011. Semakin luasnya pertanian
organik, diharapkan bisa memberikan manfaat yang lebih luas dalam pemenuhan
permintaan masyarakat akan pangan yang sehat dan berkelanjutan. Pertanian
organik saat ini telah berkembang secara luas, baik dari sisi budidaya, sarana
produksi, jenis produk, pemasaran, pengetahuan konsumen dan organisasi/ lembaga
masyarakat yang menaruh minat (concern) pada pertanian organik.
Pada tahun 2011 luas area pertanian organik tersertifikat adalah
90.135,30 hektar. Area tanpa sertifikasi seluas 134.717,66 hektar, area
dalam proses sertifikasi seluas 3,80 hektar. Area pertanian organik dengan
sertifikasi PAMOR seluas 5,89 hektar (Tabel 2). PAMOR adalah Penjaminan Mutu
Organis Indonesia, sebuah penjaminan partisipatif yang dikembangkan oleh
Aliansi Organis Indonesia. Luas Area Pertanian Organik Indonesia 2011 Tipe Area
Organik Luas (ha), jumlah 225.062,65 Sumber : SPOI 2011 Luas lahan
yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 188,2
juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 70
juta ha yang telah digunakan untuk berbagai sistem pertanian (Mulyani dan Agus,
2006), sisanya belum dimanfaatkan dan bisa dimanfaatkan untuk pertanian
organik. Disamping itu, menurut Nurdin (2012) terdapat 11,1 juta tanah yang
diidentifikasikan sebagai tanah terlantar yang sebagian dapat digunakan untuk
pertanian organik.
Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau
belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas
dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum
tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian
kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan
menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini
memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun. Menurut Inawati
(2011), berkembangnya produsen dan komoditas organik ini karena pengaruh gaya
hidup masyarakat sebagai konsumen yang mulai memperhatikan pentingnya kesehatan
dan lingkungan hidup dengan menggunakan produk organik yang tidak menggunakan bahan-bahan
kimia sintetis buatan. Selain itu juga karena mulai berkembangnya bisnis produk
organik. Selain terus bertambahnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian
organik, Aliansi Organis Indonesia juga mencatat semakin meningkatnya jumlah
produsen komoditas organik, demikian juga ragam komoditas organik yang
dibudidaya, merk dagang organik, dan pemasok ke pengecer seperti super market
dan restoran besar. Hasil kajian Aliansi Organis Indonesia pada 2010
menunjukkan makin banyaknya produsen produk organik dengan komoditas yang
beragam, seperti beras, telur, sayuran dan bermacam hasil tanaman kebun seperti
kopi, teh, madu hutan dan rempah-rempah. Dalam Statistik Pertanian Organik
Indonesia (SPOI) 2010 nampak bahwa produsen organic bersertifikat mencapai 9.805.
Jumlah ini lebih tinggi daripada yang belum bersertifikat yang hanya 3.817.
Sementara itu produk kopi yang sebagian besar sudah mendapat sertifikasi
organik hampir mencapai 35 ribu hektar. Lalu disusul madu hutan dengan luas
lahan bersertifikat 15 ribu hektar, gula aren dan mete bersertifikat 10 ribu
hektar, rempah-rempahhampir 10 hektar, beras organik bersertifikat sekitar 3
ribu hektar, lalu disusul kakao dan teh.
Pada tahun 2011 kopi organik masih menjadi komoditas kunci di
Indonesia. Hampir semua produk kopi ini bertujuan ekspor. Komoditas kopi dengan
luas areal terluas (41.651,73 ha) disusul oleh mete (11.394,7 ha) dan madu
hutan seluas 9,007,2 ha (SPOI, 2011). Akan tetapi di tengah perkembangan yang
pesat itu, potensi bahaya peminggiran petani organik berskala kecil harus
diperhatikan. Bahaya itu datang dari proses sertifikasi komoditas organik
sesuai dengan Standard Nasional Indonesia Sistem Pangan Organik yang disahkan
oleh Badan Standardisasi Nasional. Penggunaan standard itu memang bertujuan melindungi
konsumen dan petani organik agar tidak dirugikan oleh para pemalsu produk
organik (AOI, 2011). Tetapi biaya sertifikasi yang mahal dan standar serta
proses sertifikasi yang tidak sesuai dengan budaya petani bias menyingkirkan
para petani kecil. Biaya sertifikasi untuk wilayah Jawa misalnya berkisar 5
sampai 15 juta rupiah perunit usaha tani padahal rata-rata luas lahan petani di
bawah satu hektar. Karena itu, beberapa hal penting perlu dilakukan seperti :
membebaskan petani berskala kecil dari keharusan membuat sertifikat, membuat
regulasi yang sesuai budaya petani, pengakuan sistem penjaminan berbasis
komunitas, dukungan dana sertifikasi, dan mengkampanyekan perdagangan yang
adil. Luas areal pertanian organic Indonesia tahun 2011 dikelola oleh ribuan
produsen, termasuk didalamnya petani kecil, yang umumnya tergabung dalam
kelompok tani dan disertifikasi dengan sistem ICS (Internal Control System).
Dari beberapa tipe lahan organik dalam SPOI 2011, total jumlah produsen adalah
12.512 (termasuk petani kecil dan perusahaan). Nilai ini menurun 10 persen dari
tahun 2010 (13.794). Selain produsen, pelaku organik lainnya adalah prosesor
dan eksportir sebanyak 71. Pelaku-pelaku organic lainnya di Indonesia yang
tidak kalah
pentingnya adalah lembaga pelatihan, lembaga sertifikasi baik nasional maupun internasional dan pedagang yang sangat berperan dalam perkembangan pertanian organik di Indonesia. Terdapat 8 lembaga sertifikasi Internasional yang teridentifikasi beroperasi di Indonesia, yaitu : IMO (Instituteteh. Pada tahun 2011 kopi organik masih menjadi komoditas kunci di Indonesia. Hampir semua produk kopi ini bertujuan ekspor. Komoditas kopi dengan luas areal terluas (41.651,73 ha) disusul oleh mete (11.394,7 ha) dan madu hutan seluas 9,007,2 ha (SPOI, 2011). Akan tetapi di tengah perkembangan
yang pesat itu, potensi bahaya peminggiran petani organik berskala kecil harus diperhatikan. Bahaya itu datang dari proses sertifikasi komoditas organik sesuai dengan Standard Nasional Indonesia Sistem Pangan Organik yang disahkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Penggunaan standard itu memang bertujuan melindungi konsumen dan petani organik agar tidak dirugikan oleh para pemalsu produk organik (AOI, 2011). Tetapi biaya sertifikasi yang mahal dan standar serta proses sertifikasi yang tidak sesuai dengan budaya petani bias menyingkirkan para petani kecil. Biaya sertifikasi untuk wilayah Jawa misalnya berkisar 5 sampai 15 juta rupiah perunit usaha tani padahal rata-rata luas lahan petani di bawah satu hektar. Karena itu, beberapa hal penting perlu dilakukan seperti : membebaskan petani berskala kecil dari keharusan membuat sertifikat, membuat regulasi yang sesuai budaya petani, pengakuan sistem penjaminan berbasis komunitas, dukungan dana sertifikasi, dan mengkampanyekan
perdagangan yang adil. Luas areal pertanian organic Indonesia tahun 2011 dikelola oleh ribuan produsen, termasuk didalamnya petani kecil, yang umumnya tergabung dalam kelompok tani dan disertifikasi dengan sistem ICS (Internal Control System). Dari beberapa tipe lahan organik dalam SPOI 2011, total jumlah produsen adalah 12.512 (termasuk petani kecil dan perusahaan). Nilai ini menurun 10 persen dari tahun 2010 (13.794). Selain produsen, pelaku organik lainnya adalah prosesor dan eksportir sebanyak 71. Pelaku-pelaku organic lainnya di Indonesia yang tidak kalah pentingnya adalah lembaga pelatihan, lembaga sertifikasi baik nasional maupun internasional dan pedagang yang sangat berperan dalam perkembangan pertanian organik di Indonesia. Terdapat 8 lembaga sertifikasi Internasional yang teridentifikasi beroperasi di Indonesia, yaitu : IMO (Institute for Market Ecology), Control Union, NASAA (National Association of Sustainable Agriculture of Australia), Naturland, Ecocert, GOCA (Guaranteed Organic Certification Agency), ACO (Australian Certified Organic), dan CERES (Certification of Environmental Standards). Lembaga sertifikasi nasional saat ini yang telah terakreditasi KAN (Komite Akreditasi Nasional) dan diakui OKPO (Otoritas Kompeten Pangan Organik) adalah: BIOcert (Bogor), INOFICE (Bogor), Sucofindo (Jakarta), LeSOS, Mutu Agung (Depok), PT Persada (Yogyakarta) dan LSO Sumbar (Padang). Selain lembaga sertifikasi, terdapat beberapa organisasi yang bergerak dibidang pengembangan pertanian organik seperti : (1) IFOAM (International Federation of Organic Agricultural Movements) yang merupakan lembaga payung untuk gerakan organik, menyatukan lebih dari 750 organisasi anggota di 116 negara. IFOAM aktif berpartisipasi dalam negosiasi pertanian dan lingkungan internasional untuk memajukan kepentingan gerakan pertanian organik di seluruh dunia; (2) Maporina (Masyarakat Pertanian Organik Indonesia) adalah sebuah wadah Organisasi Profesi untuk menghimpun potensi berbagai pihak yang terkait dengan Pertanian Organik yang meliputi Birokrat, Akademisi, Petani, Pengusaha dan Masyarakat luas pemerhati masalah Pertanian di Indonesia yang diharapkan dapat mensejahterakan Rakyat, melestarikan lahan dan lingkungan melalui Sistem Pertanian; dan (3) AOI (Aliansi Organik Indonesia) merupakan sebuah organisasi masyarakat sipil berbasis keanggotaan, saat ini AOI beranggotakan 79 anggota yang terdiri dari lembaga dan individu yang bergerak di pertanian organik. AOI mendorong terintegrasinya prinsip dan praktek pertanian organic dan fair trade di Indonesia.
pentingnya adalah lembaga pelatihan, lembaga sertifikasi baik nasional maupun internasional dan pedagang yang sangat berperan dalam perkembangan pertanian organik di Indonesia. Terdapat 8 lembaga sertifikasi Internasional yang teridentifikasi beroperasi di Indonesia, yaitu : IMO (Instituteteh. Pada tahun 2011 kopi organik masih menjadi komoditas kunci di Indonesia. Hampir semua produk kopi ini bertujuan ekspor. Komoditas kopi dengan luas areal terluas (41.651,73 ha) disusul oleh mete (11.394,7 ha) dan madu hutan seluas 9,007,2 ha (SPOI, 2011). Akan tetapi di tengah perkembangan
yang pesat itu, potensi bahaya peminggiran petani organik berskala kecil harus diperhatikan. Bahaya itu datang dari proses sertifikasi komoditas organik sesuai dengan Standard Nasional Indonesia Sistem Pangan Organik yang disahkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Penggunaan standard itu memang bertujuan melindungi konsumen dan petani organik agar tidak dirugikan oleh para pemalsu produk organik (AOI, 2011). Tetapi biaya sertifikasi yang mahal dan standar serta proses sertifikasi yang tidak sesuai dengan budaya petani bias menyingkirkan para petani kecil. Biaya sertifikasi untuk wilayah Jawa misalnya berkisar 5 sampai 15 juta rupiah perunit usaha tani padahal rata-rata luas lahan petani di bawah satu hektar. Karena itu, beberapa hal penting perlu dilakukan seperti : membebaskan petani berskala kecil dari keharusan membuat sertifikat, membuat regulasi yang sesuai budaya petani, pengakuan sistem penjaminan berbasis komunitas, dukungan dana sertifikasi, dan mengkampanyekan
perdagangan yang adil. Luas areal pertanian organic Indonesia tahun 2011 dikelola oleh ribuan produsen, termasuk didalamnya petani kecil, yang umumnya tergabung dalam kelompok tani dan disertifikasi dengan sistem ICS (Internal Control System). Dari beberapa tipe lahan organik dalam SPOI 2011, total jumlah produsen adalah 12.512 (termasuk petani kecil dan perusahaan). Nilai ini menurun 10 persen dari tahun 2010 (13.794). Selain produsen, pelaku organik lainnya adalah prosesor dan eksportir sebanyak 71. Pelaku-pelaku organic lainnya di Indonesia yang tidak kalah pentingnya adalah lembaga pelatihan, lembaga sertifikasi baik nasional maupun internasional dan pedagang yang sangat berperan dalam perkembangan pertanian organik di Indonesia. Terdapat 8 lembaga sertifikasi Internasional yang teridentifikasi beroperasi di Indonesia, yaitu : IMO (Institute for Market Ecology), Control Union, NASAA (National Association of Sustainable Agriculture of Australia), Naturland, Ecocert, GOCA (Guaranteed Organic Certification Agency), ACO (Australian Certified Organic), dan CERES (Certification of Environmental Standards). Lembaga sertifikasi nasional saat ini yang telah terakreditasi KAN (Komite Akreditasi Nasional) dan diakui OKPO (Otoritas Kompeten Pangan Organik) adalah: BIOcert (Bogor), INOFICE (Bogor), Sucofindo (Jakarta), LeSOS, Mutu Agung (Depok), PT Persada (Yogyakarta) dan LSO Sumbar (Padang). Selain lembaga sertifikasi, terdapat beberapa organisasi yang bergerak dibidang pengembangan pertanian organik seperti : (1) IFOAM (International Federation of Organic Agricultural Movements) yang merupakan lembaga payung untuk gerakan organik, menyatukan lebih dari 750 organisasi anggota di 116 negara. IFOAM aktif berpartisipasi dalam negosiasi pertanian dan lingkungan internasional untuk memajukan kepentingan gerakan pertanian organik di seluruh dunia; (2) Maporina (Masyarakat Pertanian Organik Indonesia) adalah sebuah wadah Organisasi Profesi untuk menghimpun potensi berbagai pihak yang terkait dengan Pertanian Organik yang meliputi Birokrat, Akademisi, Petani, Pengusaha dan Masyarakat luas pemerhati masalah Pertanian di Indonesia yang diharapkan dapat mensejahterakan Rakyat, melestarikan lahan dan lingkungan melalui Sistem Pertanian; dan (3) AOI (Aliansi Organik Indonesia) merupakan sebuah organisasi masyarakat sipil berbasis keanggotaan, saat ini AOI beranggotakan 79 anggota yang terdiri dari lembaga dan individu yang bergerak di pertanian organik. AOI mendorong terintegrasinya prinsip dan praktek pertanian organic dan fair trade di Indonesia.
Sumber :
http://journal.trunojoyo.ac.id/kompetensi/article/download/657/578
0 comments:
Posting Komentar